Wayang kulit merupakan warisan budaya asli Indonesia. Pagelaran Wayang kulit telah berusia berabad-abad dan tetap berada di tengah-tengah masyarakat. Pagelaran Wayang kulit tetap mempunyai peran yang aktif dan positif, oleh karena menyuguhkan bermacam-macam kebutuhan masyarakat. Kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, kebutuhan untuk menikmati seni, kebutuhan untuk memperoleh pendidikan etika, pendidikan kewiryaan, pendidikan budi pekerti, pendidikan ilmu jiwa, ilmu kesempurnaan dsb.
Sebaliknya, pergelaran Wayang kulit juga dapat dipakai oleh para pimpinan utnuk menyampaikan bermacam-macam pendidikan kepada masyarakat, Pendidikan ketatanegaraan, pendidikan tentang kepribadian yang luhur, menanamkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa diselipkan oleh Dalang ke dalam pagelaran wayang.
Untuk pertunjukan wayang kulit tradisional, membutuhkan Kelir , yaitu tirai atau layar kain putih ukuran 130 x 390 cm yang direntangkan pada dua buah tiang. Tata cara pertunjukan wayang kulit terbagi dalam tiga pembabakan. Yaitu :
1. Babak awal , pertunjukan diiringi dengan gendhing-gendhing pathet nem.
2. Babak pertengahan , dalang memberi isyarat kepada para pemusik (niyaga) agar sejenak membunyikan gendhing lindur dan disusul dengan gendhing pathet sanga.
3. Babak akhir , pertunjukan diiringi dengan gendhing pathet manyura. Sebagai penutup, iringan musik gamelan menyajikan gendhing ayak-ayakan pamungkas.
Waktu pertunjukan berlangsung selama enam sampai tujuh jam , biasanya pada waktu malam. Pada malam hari, biasanya dimulai pukul 21.30 sampai pukul 04.30.
Pada wayang kulit juga terdapat adegan humor (punakawan : Semar, Gareng, Petruk, Bagong), diiringi musik gamelan dan nyanyian dari para pesinden, maka sesungguhnya pertunjukan wayang merupakan pertunjukan yang sangat megah yang sarat nilai-nilai budaya. Cerita yang ditampilkan pun jugapenuh dengan pembelajaran dan tinggi akan nilai moral.
Namun, seiring adanya globalisasi yang menyebabkan mudahnya informasi baik dari dalam maupun dari luar negeri, terjadi perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas proses modernisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar